Dulu saat masih SD saya punya
seorang sahabat. Namanya Inda, seorang gadis manis dan baik hati yang berasal
dari keluarga kaya. Meski hanya berteman selama setahun, saya merasa mempunyai
ikatan yang istimewa, setidaknya menurut saya pribadi.
Awal perkenalan saat saya baru
saja pindah ke sebuah Sekolah Dasar di daerah Cianjur. Karena krisis moneter
yang menyerang indonesia tahun 1998 kedua orang tua terpaksa pindah dari Garut
ke Cianjur untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Waktu itu saya kelas 5
dan adik kelas 1.
Memasuki awal caturwulan 3 saya
menjadi murid baru dengan segala keanehan dan kecanggungannya. Sungguh aneh
rasanya saat berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Semua mata
mengarah ke depan, dengan penuh penasaran. Terbata-bata mengatakan nama dan
pindahan dari mana. Saat itu Inda tidak masuk sekolah, sakit katanya.
Saya duduk di bangku depan dekat
dengan meja guru, tak terlalu masalah karena di sekolah lama selalu duduk di
deretan depan. Ketika banyak anak menghindari duduk di depan, apalagi dekat
meja guru, saya meras fine-fine saja.
Beberapa hari kemudian Inda
masuk sekolah. Ternyata kursi yang saya duduki bersebelahan dengan Inda.
Sebelumnya saya tidak begitu tahu siapa di sebelah saya karena waktu pertama
kali masuk kelas sedang terjadi penggabungan kelas. Kelas 5 A dan 5B digabung jadi satu ruangan, sehingga para
murid duduk sekenanya. Lalu setelah pemisahan kelas barulah saya sadar kalau
teman sebangku Inda pindah sekolah, dan sayalah penggantinya.
Bermodal hubungan yang cukup
intens akibat sebangku kami mulai dekat.
Kami sering main bersama, pulang sekolah beli jajan dulu, atau main ke rumahnya
yang besar. Beberapa kali Inda main ke kontrakan orang tua saya yang jauh dari
kesan mewah. Dengan deretan gerobak bakso di halaman rumah. Ya, orang tua saya
adalah pedagang bakso.
“Kenapa, sih, Rika kayaknya
tidak suka kalau kita main ke rumah?” tanya Inda suatu kali. Kebetulan hari itu
Inda dan seorang teman lagi ingin main ke rumah.
Terus terang saya merasa agak
malu dengan keadaan keluarga. Asal usulnya yang dari keluarga berada telah
menerebitkan rasa minder. Mungkin Inda akhirnya merasa kenapa tiap kali berniat
main ke rumah selalu saya mencari alasan. Meski beberapa kali saya kalah juga
dan berat hati mengajaknya ke rumah.
Kalau dipikir-pikir seharusnya
saya tidak perlu merasa demikian karena Inda menganggap bahwa perbedaan kami
bukanlah masalah. Tapi entah kenapa sejak kecil saya merasa rendah diri ketika
berhadapan dengan orang yang status ekonominya berada di atas. Tanpa saya
sadari akhirnya jadi menarik diri dari pergaulan.
Lalu setelah Ujian akhir
sekolah, dulu masih disebut EBTANAS, saya kembali harus pindah. Orang tua
memutuskan kembali ke kampung halaman ayah, sebab dirasa semakin susah mencari
rupiah di kota. Sepertinya ayah dan ibu sengaja menunggu EBTANAS sebelum
akhirnya pulang kampung.
Tanpa banyak kata akhirnya saya
pindah meninggalkan kota Cianjur yang baru saja satu tahun ditinggali. Bahkan
saya tidak mengucapkan salam perpisahan pada Inda dan teman-teman lain. Pun tak
bisa menerima piala sebagai peraih NEM tertinggi di sekolah, karena acara
perpisahan dilakukan setelah kepulangan kami sekeluarga.
Tentu perasaan kehilangan itu
ada, tapi pikiran anak-anak yang masih sederhana belum bisa mengartikan
sepenuhnya apa arti sebuah perpisahan. Semua dianggap berjalan sebagaimana
mestinya tanpa perlu bertanya apalagi protes.
Saya pun mulai disibukkan dengan
pendaftaran sebagai murid SMP dan mulai merasakan semangat baru. Membayangkan
memakai seragam biru-putih terasa menyenangkan. Dunia anak-anak akan segera
ditinggalkan dan beralih ke remaja, meski sebenarnya masih terlalu dini untuk
menyebut ‘remaja’. Tapi setidaknya itulah gambaran saya waktu itu.
Perlahan Inda mulai menjadi
kenangan, yang tertutup oleh pengalaman-pengalaman baru . Hingga mendekati
akhir tahun saya tiba-tiba teringat ‘nasib’ kawan saya itu. Bagaimana kabarnya?
Sekarang sekolah dimana? Di kelas apa? Siapa saja yang satu SMP dengannya?
Akhirnya saya menulis surat
sekitar 2 lembar dengan tulisan yang awut-awutan. Tapi sialnya saya tidak tahu
alamatnya. Lalu saya mengorek-ngorek ingatan, mencoba mengingat saat saya masih
sering main ke rumahnya. Hmm.. rumahnya masuk gang dan ada nomor 88 nya di
rumah. Ah, mungkin itu! Tanpa pikir panjang saya menuliskannya. Setelah
menempel perangko kemudian saya poskan di kantor pos sepulang sekolah. Saya
berharap Inda segera membalasnya.
Saya menunggu dan mereke-reka
surat itu sudah sampai mana, apakah Inda sudah menulis balasannya, bagaimana perasaannya
menerima surat itu? Saya terus menunggu, hingga akhirnya saya lupa berapa lama
menunggu dan surat itu seperti hilang di telan bumi. Balasan itu tidak datang,
atau bahkan surat itu memang tak pernah Inda terima? Atau jangan-jangan ia
marah dan membakar surat itu?
Seperti roda, kehidupan terus
berjalan sayapun memutuskan untuk tak lagi memikirkan Inda dan surat itu. Mungkin
alamatnya yang salah, percuma menulis lagi kalau alamatnya tak tahu pasti.
Kadang saya merasa bersalah, kenapa dulu tak berpamitan dan menanyakan
alamatnya.
Bertahun-tahun orang-orang
melalui garis takdir yang telah ditetapkan untuknya. Pun kehidupan saya tak
berhenti karena Allah memang belum memutuskan untuk menghentikan nafas ini.
Perkembangan teknologi dengan segala dampaknya telah membawa perubahan yang
sangat besar terutama dalam hal komunikasi yang berkembang begitu cepat.
Sejak penggunaan telepon seluler
meluas semua seolah berkembang tanpa batas, dunia menjadi luas dan bisa
terkoneksi dengan orang-orang yang sangat jauh, cukup menekan tombol-tombol yang
ada di tangan. Lalu ponsel berkembang bukan hanya untuk telepon dan sms,
berbagai perangkat telah ditambahkan, kamera, mp3 player, modem, radio,
chatting dan menjelajah internet semudah dari komputer.
Begitu juga kehadiran Facebook
yang merubah wajah dunia sekarang. Membuat orang begitu mudahnya terhubung dan
menjalin komunikasi, dengan teman kuliah, SMA, SMP, SD, bahkan teman imut saat
masih di TK dulu. Semua orang punya kesempatan untuk bernostalgia dan mengenang
saat berkumpul dengan kawan-kawan. Cukup dengan punya akun facebook maka
teman-teman pun bisa dilacak keberadaannya. Bukankah menyengangkan mengetahui
kabar teman kita yang dulu masih lugu-lugu itu? Kuliah dimana? Sudah nikah atau
belum? Si A nikah sama siapa sih? Si anu sudah punya pasangan belum ya? Ow, Si
B punya bayi, ih lucunya! Lho kok si C jadi kayak gini, padahal dulu waktu
sekolah pendiem.
Saya pun memanfaatkan facebook
untuk mencari teman saya saat masih SD, termasuk Inda. Begitu gembiranya ketika
melihat namanya terpampang di salah satu akun facebook, nama lengkapnya membuat
saya yakin kalau tidak salah orang. Dengan semangat saya pun menulis pesan dan
mengirimkan permintaan pertemanan. Sepertinya dia sekarang sudah lulus kuliah.
Sama seperti dulu saya menunggu
dan menunggu balasan pesan saya, berharap dia juga merasa gembira bisa bertemu
saya lagi meski hanya lewat dunia maya. Namun kejadian sama terulang lagi dan
balasan itu tak pernah saya terima, hanya permintaan pertemanan saja yang
di-confirm-nya. Apa ada yang salah? Saya yakin kali ini saya tidak salah
alamat, dan saya benar-benar menulis pesan pada akunnya.
Bepikir dan berpikir akhirnya
saya merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi antara saya dan Inda. Mungkin sebuah
kesalahpahaman sehingga ia tak mau membalas pesan yang saya kirimkan. Lalu saya
membongkar lagi ingatan dan kenangan-kenangan, menerka bagian mana yang sudah
melukai hatinya atau persahabatan kami. Namun, saya merasa tidak pernah
menyakiti hatinya. Tentu saja itu adalah penilaian secara subyektif yang
seringkali terjadi sehingga orang merasa tidak bersalah padahal kenyataannya
tidak.
Mungkin ada suatu keadaan yang
membuatnya marah sedangkan saya tidak menyadarinya, sehingga ia memutuskan
menghapus saya dari ingatannya dan daftar temannya.
Saya masih beberapa kali mengunjungi
akunnya dan akun adiknya, saya lumayan kenal adiknya meski ia tak terlalu ingat
saya karena waktu itu ia masih kelas 2 SD. Tapi adik saya dan adik Inda
berteman. Saya pun menulis pesan pada
adiknya agar menyampaikan pada Inda agar membalas pesan saya, adiknya
menyanggupi dan berjanji akan bilang pada kakaknya. Saya juga memberitahu adik
saya tentang akun adiknya Inda, dan sepertinya mereka berteman.
Saat sedang iseng buka facebook
saya berkunjung ke ‘rumah’ Inda. Melihat kabar dan berharap dia baik-baik saja,
hingga saya mendapat kabar sekitar 2 tahun lalu adiknya meninggal karena
kanker. Saya ikut bersedih tapi tak menulis apa-apa karena takut akan melukai
hatinya, bukankah dalam anggapan saya dia marah? Orang sedih tidak baik bertemu
dengan orang yang di bencinya.
Saya hanya bercerita pada adik
saya, yang tanpa saya ketahui beberapa hari kemudian mengaku chatting dengan
Inda dan mengucapkan turut berduka cita. Sampai disana saya menjadi yakin bahwa
memang ada sesuatu yang telah saya lakukan sehingga membuat Inda enggan mejawab
pesan saya.
Entah yang mana tapi semakin
saya mengingatnya pikiran-pikiran buruk semakin membuat saya bersalah. Sehingga
seolah-olah semua yang terjadi saat SD dulu telah menyakitinya. Saya pun
memutuskan berhenti menduga-duga dan membiarkan semua berjalan hingga mancapai
akhir. Meski saya berharap suatu hari bisa bertemu lagi dengan Inda dalam
keadaan bahagia.