Kenangan Masa Kecil yang Selalu Berkesan

Posted by Nasyithun Izzah Kamis, 09 Mei 2013 1 komentar

Beberapa waktu lalu saat tengah menunggu pesanan di kedai ayam tulang lunak, saya melihat seorang bapak makan dengan anak perempuannya. Sebenarnya mereka makan beramai-ramai dengan ibu dan keluarga yang lain. Tapi karena bangku sudah penuh si bapak dan anaknya ini ‘terpisah’ dan duduk tepat di hadapan saya. Ada kejadian menarik berkaitan dengan mereka.
Anak perempuannya masih kecil, mungkin umur 6 tahunan, sedangkan sang bapak pria setengah baya dengan kulit hitam dan beraut wajah keras, menandakan orang yang tegas dan berpendirian kuat. Bapak itu sedang makan soto ayam, sesekali ia menyuapi anaknya yang makan sambil terus bertanya ini itu. lalu tiba-tiba si anak minta ditambahkan kecap ke mangkuk soto bapaknya,
“Pak, tambah kecap, ya?” anak itu menyorongkan botol kecap ke arah bapaknya.
“Sudah dikasih kecap ,” jawab bapaknya singkat sambil mengembalikan kecap ke tempat semula.
“Kasih kecap, Pak,” anak itu menyorongkan lagi botol kecap.
“Nggak mau, sudah di kasih kecap.” Si bapak menepis kecapnya.
“Ayo, Pak, tambah kecapnya.”
“Bapak yang makan kenap suruh tambah kecap? Nggak mau!” Bapaknya sudah mulai menunjukkan kejengkelan.
“Ayolah Pak, tambah kecap.” Anak itu terus merengek, hingga terjadi beberapa kali geser-menggeser kecap. Kemudian tangan si bapak bergerak ke bawah, mungkin mencubit kaki putrinya.
Namun bukannya jera anaknya malah terus merengek minta ditambahkan kecap. Ia mengguncang-guncangkan tangan bapaknya hingga tak bisa lagi makan. Saya mulai khawatir si bapak naik pitam. Ternyata benar si bapak mencubit lagi sepertinya lebih keras, sambil memarahi anaknya. Anak itu kemudian menangis, tapi dalam tangisnya dia masih berkata,”Pak tambah kecapnya, dikiiiit aja. Tambah kecap, Pak.”
Si ibu yang duduk dibangku lain segera mengambil alih anaknya, sementara bapaknya melanjutkan kembali makan soto.
Ada yang menyentil hati saya, bagaimana jadinya bila seandainya si bapak tadi mau menuruti permintaan anaknya? Bukankah tidak sulit hanya sekedar menambah kecap? Kalau  ditambah sedikit tentu tidak berpengaruh banyak pada rasa soto.
Mungkin bagi bapak itu anaknya terlalu mengada-ada dan nakal. Saya yang makan kenapa harus menuruti orang lain? Terserah saya dong mau ngasih kecap atau nggak, kan saya yang ngerasain makanannya, mungkin begitulah pikiran bapak itu.
Tapi apakah sebanding antara tidak mau menambah kecap dengan luka hati yang dirasakan anaknya? Apalagi perasaan anak sangat peka. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa kejadian kecil seringkali berpengaruh pada hubungan orangtua dan anak kelak.
Saat anak dimarahi apalagi ditambah hukuman fisik, akan sangat melukai hatinya. Luka itu akan terus terbawa hingga dewasa yang berakibat renggangnya hubungan orangtua-anak dan keengganan untuk taat pada orang tua. Anak-anak belum bisa menilai apakah perilaku mereka menganggu orang lain atau tidak, bagi mereka sangat menarik mencoba hal-hal baru, termasuk menambahkan kecap ke dalam soto.
Tidaklah bijak bila bakat alami itu disikapi dengan kasar karena bisa merusak kreatifitasnya. Rasa ingin mencoba hal baru adalah hal yang mutlak terjadi pada fase kanak-kanak. Dengan bakat itu ia bisa menentukkan mana yang baik dan buruk, mana yang menarik dan membosankan, dan mana yang berguna dan tidak.
Permintaan anak yang sering dianggap sepele oleh orang tua sebenarnya adalah sarana agar lebih diperhatikan dan mencari gambaran apakah orangtua betul-betul menyayanginya. Anak belum bisa melihat bahwa orang tualah yang selama ini merawatnya, memberi uang jajan, yang mengasuh dan memberikan mereka pakaian. Alam fikiran mereka belum sampai pada taraf seperti itu.
Mereka masih melihat pada persoalan yang kecil-kecil, seperti kesediaan orangtua mencium pipinya, membetulkan ikatan sepatunya, atau membantu membuatkan pesawat kertas. Tapi sayangnya persoalan kecil itu berpotensi lebih masuk ke alam bawah sadar yang akan menjadi landasan untuk taat atau tidak, menghormati orang tua atau tidak di kemudian hari.
Saya masih ingat dulu saat masih TK saya ikut ayah belanja ke pasar. Ayah seorang pedagang bakso yang harus belanja pukul 2 dinihari agar bisa dimasak paginya. Entah bagaimana caranya saya bisa bangun pukul 2. Ayah pun tak keberatan mengajak saya, yang masih kecil belanja, meski sebenarnya tentu merepotkan.
Setelah membeli daging kami ke tempat penggilingan daging, sambil menunggu saya ingin makan snack Taro yang kebetulan dijual dekat situ. Ayah membukakan bungkusnya, tapi terbalik. Gambar orangnya jadi terjungkir.
Waktu itu saya sangat tidak suka jika makan snack dibuka dari bawah. Mungkin terpengaruh iklan yang memegang kemasannya dengan tegak agar tampak tulisan mereknya. Saya lalu merengek nggak mau makan karena dibukanya terbalik, tanpa banyak kata ayah membeli satu lagi dan membukanya seperti keinginan saya. Tanpa memarahi sedikitpun.
Kejadian itu sangat membekas hingga sekarang, seolah dari kejadian kecil itu tersirat bagaimana ayah begitu menyayangi saya. Di tengah sibuknya berbelanja ayah masih mau menuruti pemintaan yang kekanak-kanakan itu. Mungkin saat itu ayah tidak tersenyum karena memang beliau orang yang cukup keras tapi dari tindakan itu seolah merupakan puncak kasih sayangya pada saya. Tentu saja diluar fakta bahwa selama ini ayah yang menafkahi keluarga.
Saat saya mengingat kejadian itu betapa cinta dan hormat saya begitu membuncah seolah ingin keluar. Sampai ingin menangis rasanya. Kejadian sepele yang ternyata menjadi landasan bagi saya untuk terus menghormati dan mencintainya. Saat saya merasa marah dan kecewa kejadian itu sepert air sejuk yang mengguyur ke dalam hati.
Rasulullah bersabda:

“Barang siapa memilki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan, atau dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan lalu memperlakukan mereka dengan baik dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga.”
Subhanallah betapa Rasulullah sudah jauh-jauh hari mewasiatkan agar berbuat baik pada anak. Jiwa anak yang lembut dan polos sangat mudah tergores, sekali saja tergores maka akan menimbulkan bekas yang sulit untuk hilang. Apalagi bagi anak perempuan yang memang halus perasaannya, dan dia adalah pembawa generasi berikutnya yang harus dijaga jiwanya agar kuat. Jiwa yang terluka tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali manusia yang berakhlak buruk.
Maka anak perempuan yang diperlakukan dengan kasar, bentakan, cubitan maka ia kelak menjadi ibu yang buruk dan gampang marah, kurang sabar dalam mengasuh anak.


Pada dasarnya seorang anak tidaklah nakal dan mereka juga tidak pernah punya keinginan untuk membuat marah orangtuanya. Kemarahan muncul karena anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Saat mendapati anak melakukan hal-hal yang menjengkelkan atau tidak baik, sangat dianjurkan untuk tidak memarahinya ketika itu. Tapi jelaskan secara baik-baik kenapa hal itu dilarang, atau bila kesalahan kecil saja tidak usah dibesar-besarkan.
rs-mojosongo.com
Bagi saya kejadian bapak dan anak perempuan soal kecap diatas bisa sangat menentukan kualitas hubungan mereka di kemudian hari. Saat keinginan anak yang begitu menggebu (meski sepele) dituruti maka ia akan menaruh perasaan yang begitu dalam. Kesan itu akan terpancang kuat dan menjadi sebuah memori indah yang akan terus dikenang sepanjang hidup.
Sayang sekali jika kita melewatkan hal-hal menakjubkan saat anak mulai tumbuh dan mengembangkan hidupnya. Di kala hati marah dengan sikap mereka maka sadarilah bahwa mereka masih anak-anak, dan seorang anak tidak pernah punya keinginan mendapat murka orangtuanya. Penuhilah permintaan mereka semampu kita, dan tetap bersikap lembut. Jangan sampai hanya karena kesalahan kecil menimbulkan luka seumur hidup.


Baca Selengkapnya ....

Kerang dan Mutiara

Posted by Nasyithun Izzah Jumat, 26 April 2013 0 komentar
Sebuah mutiara yang bersinar indah tidaklah muncul begitu saja
Dia berasal dari kerang yang kesakitan
Bersabar dari waktu ke waktu
Melapisi batu yang masuk ke dalam tubuhnya
Agar batu itu tak melukai dirinya
Dan tanpa sadar merubahnya menjadi mutiara
Kalau semua ingin jadi mutiara
Maka siapakah yang akan jadi kerangnya?
Saat perempuan-perempuan berlomba menjadi mutiara
Aku akan menjadi sebuah kerang
Kelak akan kuhasilkan mutiara yang bersinar sangat indah
Lebih indah dari sinarku bila menjadi mutiara
Karena ini adalah sebuah tugas mulia
Tugas mulia seorang ibu

Baca Selengkapnya ....

Poligami? Ehmm....

Posted by Nasyithun Izzah Kamis, 25 April 2013 0 komentar

Suatu hari teman menulis pada akun facebooknya: “TERBUAT DARI APA OTAK DAN HATI LAKI-LAKI YANG POLIGAMI ITU!”. Sebuah status yang cukup menarik perhatian. Ditulis dengan huruf kapital semua yang seringkali diasosiasikan marah atau jengkel.


Entah apa yang terjadi padanya, mungkin baru saja mendapat pengalaman buruk dengan poligami, membaca cerita poligami, atau menonton tv yang mengangkat isu poligami. Poligami memang sangat sensitif terutama bagi perempuan. Teman saya yang biasanya lembut dan kalem mendadak jadi ‘berang’ akibat poligami.
Banyak yang berkomentar dan sebagian besar atau malah semuanya adalah laki-laki, pihak yang diuntungkan dengan poligami ^_^. Ketika saya menunjukan status itu pada suami dia bilang, “Ya, terbuat dari bahan yang sama dengan otak dan hati-mu”.
Jawaban sederhana tapi kalau dipikir-pikir ya memang betul. Terbuat dari apakah otak dan hati laki-laki? Bagi yang pernah belajar biologi pasti setuju bahwa otak dan hati tersusun atas sel-sel  yang membentuk jaringan-jaringan serta pembuluh darah kapiler. Tak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan, kecuali perbedaan pengaturan hormon, sensitivitas rangsangan, dan lipatan otak yang bisa menunjukkan seberapa sering otak digunakan menyimpan informasi.
Tapi kan perempuan cenderung menggunakan perasaannya. Namun bila ditelusuri lebih lanjut, dimana letak perasaan perempuan? Di otak, hati, atau jantung? Saat perempuan resah dan cemas otak memerintahkan melepaskan hormon kortisol yang membuat keringat dingin, jantung berdebar-debar, dan menurunkan imun tubuh. Kenapa kalau senang, sedih , takut, cemas, yang berdebar-debar adalah jantung? Padahal kalau senang kita bilang “hatiku gembira”, saat sedih “hatiku sakit huhu”.
Well, balik to the topic yaitu poligami, anggap saja yang tadi sekedar intermezo hehe... Saya termasuk orang yang tidak menyukai poligami, mana ada sih perempuan yang rela di poligami? Beda lho ya rela sama diam saja. Tapi untuk menentang poligami saya tidak berani, sungguh-sungguh tidak berani. Karena dalam Al Quran di surat An Nisa Allah telah membolehkan menikahi perempuan dua, tiga, atau empat. Masa saya mau menolak ketentuan Allah?
Kemudian dalam lanjutan ayatnya kalau takut tidak bisa berlaku adil maka nikahilah satu saja. Saya pun tidak mau menghujat yang berpoligami, karena memang dibolehkan. Kalau bisa berlaku adil tidak ada yang bisa melarang. Ada juga lho yang poligami lalu istrinya rukun-rukun aja gitu.
Sekarang media banyak yang menyudutkan laki-laki berpoligami padahal kalau dia mampu ya tidak apa-apa kan. Tapi kan kasihan istri pertamanya? Yah kasihan juga, tapi kita juga tidak bisa ikut campur urusan rumah tangga orang, mungkin ada sebab-sebab yang kita tidak tahu yang menyebabkan laki-laki berpoligami. Entah istri sakit sehingga tidak bisa melayani suami, istri mengalami masalah reproduksi, ditinggal istri bertahun-tahun buat mengejar rupiah, atau dari awal memang sudah salah memilih suami yang suka lirik kanan-kiri.
Satu hal yang perlu diluruskan bahwa hukum poligami adalah boleh, bukan sunah bukan pula wajib. Jadi bila ada yang poligami terus bilang karena mengikuti sunah rasul itu perlu dipertanyakan. Kenyataannya walaupun Al Quran membolehkan poligami tapi tidak ada satu hadis Nabi yang menganjurkan umatnya untuk berpoligami, yang ada adalah anjuran menikah bagi yang mampu. Rasulullah sendiri berpoligami bukan karena dorongan seksual tapi ada sebab-sebab tertentu.
Aisyah misalnya, dinikahi Rasulullah setelah kematian Khadijah karena beliau beberapa kali memimpikan Aisyah. Zainab menikah dengan Rasulullah sebagai dasar hukum bahwa anak angkat tidak memiliki hubungan nasab sehingga Zainab, mantan istri Zaid (Zaid diangkat anak oleh Rasulullah saat zaman jahiliah) halal dinikahi. Rasulullah menikahi Shafiyyah, putri Yahudi untuk menyelamatkannya dari tawanan perang, Saudah (perempuan berkulit hitam yang lanjut usianya) dinikahi untuk membantu mengurus rumah tangga Nabi sepeninggal Khadijah. Ummu Salamah dinikahi karena Abu Salamah, suaminya, meninggal dunia dan meninggalkan duka yang mendalam bagi Ummu Salamah.
Seandainya Rasulullah seorang hipersex seperti yang dituduhkan musuh-musuh islam, tentulah beliau berpoligami saat berusia 25 tahun. Usia yang penuh vitalitas dan semangat muda. Tapi beliau justru menikah dengan Khadijah yang berusia  40 tahun dan terus mendampinginya sampai Khadijah meninggal 25 tahun kemudian. Betapa Rasulullah sangat mencintai Khadijah, meski sebelumnya Khadijah dua kali menjanda.
Sungguh suatu perbuatan tercela jika seorang yang berpoligami karena hawa nafsu tapi mengatakan mencontoh Rasul, sedangkan Rasulullah semua istrinya adalah janda kecuali Aisyah. Rasulullah bukan menigkuti keinginannya beristri banyak, tapi ada sebab musabab dan kemashlahatan yang lebih besar.
Jadi intinya bolehkan berpoligami? Boleh saja, asal bisa memenuhi persyaratan yang tergolong berat. Kalau saya pribadi daripada menyibukkan diri dengan hal yang sudah jelas hukumnya dan sampai kapanpun akan tetap menimbulkan perdebatan antara laki-laki  dan perempuan, lebih baik memikirkan bagaimana caranya memberi lebih pada suami. Sehingga saat melihat istrinya dia merasa gembira dan tenang, merasakan kasih sayang luar biasa dari istrinya sehingga tidak ada kesempatan untuk memasukkan poligami dalam pikirannya.
Janganlah perempuan merasa tidak adil, kalaulah perempuan islam menyadari betapa Allah membebankan sedikit pada kaum perempuan dan memudahkannya memasuki surga, tentu semua orang ingin jadi perempuan. Cukup melaksanakan sholat lima waktu, puasa ramadhan, mentaati suami, dan memelihara kehormatannya maka ia boleh masuk surga dari pintu manapun. Amin ya Robbal  ‘alamin.

Baca Selengkapnya ....

Catatan Seorang Istri dan Ibu

Posted by Nasyithun Izzah Jumat, 19 April 2013 0 komentar
Hari-hari saya tidak lepas berurusan dengan orang-orang seperti ini: 
Suami, 27 tahun: berpendirian kuat, pemikir, punya gaya hidup berbeda dari orang kebanyakan, bercita-cita besar, serta punya ego dan harga diri tinggi
Raihan, balita usia 2 tahun: lincah, suka berjalan, keras kepala, tidak menerima penolakan, punya ego lebih besar dari ayahnya


Dan... saya terjepit diantara mereka berdua. Sisi baiknya abinya Raihan punya sisi kedewasaan sehingga sering mengalah saat berebut pengaruh dengan anaknya.
Seringkali saya tidak bisa mengerti jalan pikiran mereka berdua. Yang satu karena dia “memikirkan apa yang tidak saya pikirkan” sedangkan satunya belum mau bicara untuk mengatakan keinginannya. Jadilah saya hanya bisa menbak-nebak dan akhirnya berujung pada banyak kesalahan.
Suami memiliki cita-cita jangka panjang dan juga mengetahui bagaimana cara mencapainya. Ia akan tahan menerima penolakan, sikap sinis, dan ketidakpercayaan orang lain. Langkah-langkahnya diperhitungkan dengan matang, mengatakan hanya yang ingin dia katakan, dan tidak selalu mau membagi pikirannya. Itulah mengapa ia kelihatan lebih tua beberapa tahun, rambut mulai beruban, dan mengalami beberapa masalah dengan rambutnya.
Ia tidak suka mengabarkan berita buruk lewat telepon, sangat menjaga perasaan ibunya, tidak suka membeli barang bila yang lama masih bisa dipakai dan bersikukuh tidak mau terikat oleh dunia. Suatu hari saat melihat lemari pakaian, dia berkata, “Pakaian ini masih cukup sampai mati nanti, tidak perlu membeli pakaian baru.” Pendapat yang agak aneh mengingat saya suka dengan pakaian baru hehe...
Suami makan seadanya , jarang menginginkan makanan tertentu. Menyukai makanan murah dan sehat. Allah memberi banyak kemudahan untuk kami, rezeki, kesehatan, dan rasa cinta. Saat teman-teman dikantor mulai berlomba membeli kendaraan, yang punya motor ingin mobil, atau bagi yang sudah bermobil ingin mengganti baru, dia masih keukeuh dengan sepeda motor Happy-nya. “Motor riwayat ini, Pak,” begitu jawabnya saat ditanya orang kenapa tidak membeli baru. Belakangan saya  tahu kalau dari SMA sudah memakai motor itu.
Ia tidak mengijinkan saya bekerja, menginginkan sepenuhnya dirumah, mengasuh anak dan mendidiknya sepenuh hati. Keputusan yang sangat menguntungkan karena saya bisa mengembangkan hobi (mudah-mudahn suatu hari nanti bisa menjadi lahan bisnis) dan mengasuh anak pertama kami yang sangat istimewa.
Bagaimana tidak, anak saya itu dari kecil sepertinya sudah mewarisi bakat orang tuanya. Dia sangat suka berjalan dan mempunyai bakat pemikir. Kalau sudah berjalan tak peduli pagi, siang, sore, ia akan berjalan sampai kakinya lelah. Kalau dihitung-hitung mungkin rekor terjauhnya adalah 2 kilometer. Jarak yang luar biasa untuk anak usia 2 tahun.
Saat melihat teman-temannya bermain, ia hanya berdiri mengamati, kalau dirasa menarik ia akan mendekat, kalau tidak maka ia melewatinya dan tak menoleh sedikitpun. Mainan yang biasa disukai anak-anak belum tentu disukainya. Ia tidak mudah puas dan gampang bosan, sehingga saya harus mencari ide-ide agar dia tidak bosan, meski seringkali saya kelelahan dan mengeluarkan senjata pamungkas agar ia duduk tenang: memutarkan video anak-anak.
Ternyata menjadi seorang ibu rumah tangga dan berada di tengah-tengah makhluk yang egonya melebihi tubuhnya ini tidak semudah membalik telapak tangan. Kadang ingatan saat bekerja dulu sangat menarik hati dan mengecilkan arti mengurus rumah tangga, yang kata orang tidak produktif dan identik dengan wanita tak berpendidikan tinggi. Tapi sesaat kemudian saya tersadar bahwa 2 orang ini adalah pelengkap hidup saya dan sebuah anugerah yang patut disyukuri, ditengah banyaknya  orang yang merindukan memiliki keluarga dan anak-anak.
Mungkin benarlah pendapat ini, “Semodern apapun wanita, sepintar apapun dia, dan setinggi apapun jabatannya, tetaplah dalam hatinya menginginkan keluarga dan anak yang ia lahirkan sendiri. Meski banyak yang menginginkan kesetaraan gender, dimana laki-laki dan perempuan dituntut setara dan sama tanpa memperhatikan jenis kelamin, namun seorang wanita belumlah merasa sempurna jika dia belum menjadi ibu. Satu hal yang tak seorang laki-lakipun ingin mengambil peran mulia ini.”
Selamat Hari Kartini.

Baca Selengkapnya ....

Teruntuk Sahabatku, Maafkanlah!

Posted by Nasyithun Izzah Kamis, 21 Februari 2013 0 komentar

Dulu saat masih SD saya punya seorang sahabat. Namanya Inda, seorang gadis manis dan baik hati yang berasal dari keluarga kaya. Meski hanya berteman selama setahun, saya merasa mempunyai ikatan yang istimewa, setidaknya menurut saya pribadi.


Awal perkenalan saat saya baru saja pindah ke sebuah Sekolah Dasar di daerah Cianjur. Karena krisis moneter yang menyerang indonesia tahun 1998 kedua orang tua terpaksa pindah dari Garut ke Cianjur untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Waktu itu saya kelas 5 dan adik kelas 1.
Memasuki awal caturwulan 3 saya menjadi murid baru dengan segala keanehan dan kecanggungannya. Sungguh aneh rasanya saat berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Semua mata mengarah ke depan, dengan penuh penasaran. Terbata-bata mengatakan nama dan pindahan dari mana. Saat itu Inda tidak masuk sekolah, sakit katanya.
Saya duduk di bangku depan dekat dengan meja guru, tak terlalu masalah karena di sekolah lama selalu duduk di deretan depan. Ketika banyak anak menghindari duduk di depan, apalagi dekat meja guru, saya meras fine-fine saja.
Beberapa hari kemudian Inda masuk sekolah. Ternyata kursi yang saya duduki bersebelahan dengan Inda. Sebelumnya saya tidak begitu tahu siapa di sebelah saya karena waktu pertama kali masuk kelas sedang terjadi penggabungan kelas. Kelas 5 A dan 5B  digabung jadi satu ruangan, sehingga para murid duduk sekenanya. Lalu setelah pemisahan kelas barulah saya sadar kalau teman sebangku Inda pindah sekolah, dan sayalah penggantinya.
Bermodal hubungan yang cukup intens  akibat sebangku kami mulai dekat. Kami sering main bersama, pulang sekolah beli jajan dulu, atau main ke rumahnya yang besar. Beberapa kali Inda main ke kontrakan orang tua saya yang jauh dari kesan mewah. Dengan deretan gerobak bakso di halaman rumah. Ya, orang tua saya adalah pedagang bakso.
“Kenapa, sih, Rika kayaknya tidak suka kalau kita main ke rumah?” tanya Inda suatu kali. Kebetulan hari itu Inda dan seorang teman lagi ingin main ke rumah.
Terus terang saya merasa agak malu dengan keadaan keluarga. Asal usulnya yang dari keluarga berada telah menerebitkan rasa minder. Mungkin Inda akhirnya merasa kenapa tiap kali berniat main ke rumah selalu saya mencari alasan. Meski beberapa kali saya kalah juga dan berat hati mengajaknya ke rumah.
Kalau dipikir-pikir seharusnya saya tidak perlu merasa demikian karena Inda menganggap bahwa perbedaan kami bukanlah masalah. Tapi entah kenapa sejak kecil saya merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang yang status ekonominya berada di atas. Tanpa saya sadari akhirnya jadi menarik diri dari pergaulan.
Lalu setelah Ujian akhir sekolah, dulu masih disebut EBTANAS, saya kembali harus pindah. Orang tua memutuskan kembali ke kampung halaman ayah, sebab dirasa semakin susah mencari rupiah di kota. Sepertinya ayah dan ibu sengaja menunggu EBTANAS sebelum akhirnya pulang kampung.
Tanpa banyak kata akhirnya saya pindah meninggalkan kota Cianjur yang baru saja satu tahun ditinggali. Bahkan saya tidak mengucapkan salam perpisahan pada Inda dan teman-teman lain. Pun tak bisa menerima piala sebagai peraih NEM tertinggi di sekolah, karena acara perpisahan dilakukan setelah kepulangan kami sekeluarga.
Tentu perasaan kehilangan itu ada, tapi pikiran anak-anak yang masih sederhana belum bisa mengartikan sepenuhnya apa arti sebuah perpisahan. Semua dianggap berjalan sebagaimana mestinya tanpa perlu bertanya apalagi protes.
Saya pun mulai disibukkan dengan pendaftaran sebagai murid SMP dan mulai merasakan semangat baru. Membayangkan memakai seragam biru-putih terasa menyenangkan. Dunia anak-anak akan segera ditinggalkan dan beralih ke remaja, meski sebenarnya masih terlalu dini untuk menyebut ‘remaja’. Tapi setidaknya itulah gambaran saya waktu itu.
Perlahan Inda mulai menjadi kenangan, yang tertutup oleh pengalaman-pengalaman baru . Hingga mendekati akhir tahun saya tiba-tiba teringat ‘nasib’ kawan saya itu. Bagaimana kabarnya? Sekarang sekolah dimana? Di kelas apa? Siapa saja yang satu SMP dengannya?
Akhirnya saya menulis surat sekitar 2 lembar dengan tulisan yang awut-awutan. Tapi sialnya saya tidak tahu alamatnya. Lalu saya mengorek-ngorek ingatan, mencoba mengingat saat saya masih sering main ke rumahnya. Hmm.. rumahnya masuk gang dan ada nomor 88 nya di rumah. Ah, mungkin itu! Tanpa pikir panjang saya menuliskannya. Setelah menempel perangko kemudian saya poskan di kantor pos sepulang sekolah. Saya berharap Inda segera membalasnya.
Saya menunggu dan mereke-reka surat itu sudah sampai mana, apakah Inda sudah menulis balasannya, bagaimana perasaannya menerima surat itu? Saya terus menunggu, hingga akhirnya saya lupa berapa lama menunggu dan surat itu seperti hilang di telan bumi. Balasan itu tidak datang, atau bahkan surat itu memang tak pernah Inda terima? Atau jangan-jangan ia marah dan membakar surat itu?
Seperti roda, kehidupan terus berjalan sayapun memutuskan untuk tak lagi memikirkan Inda dan surat itu. Mungkin alamatnya yang salah, percuma menulis lagi kalau alamatnya tak tahu pasti. Kadang saya merasa bersalah, kenapa dulu tak berpamitan dan menanyakan alamatnya.
Bertahun-tahun orang-orang melalui garis takdir yang telah ditetapkan untuknya. Pun kehidupan saya tak berhenti karena Allah memang belum memutuskan untuk menghentikan nafas ini. Perkembangan teknologi dengan segala dampaknya telah membawa perubahan yang sangat besar terutama dalam hal komunikasi yang berkembang begitu cepat.
Sejak penggunaan telepon seluler meluas semua seolah berkembang tanpa batas, dunia menjadi luas dan bisa terkoneksi dengan orang-orang yang sangat jauh, cukup menekan tombol-tombol yang ada di tangan. Lalu ponsel berkembang bukan hanya untuk telepon dan sms, berbagai perangkat telah ditambahkan, kamera, mp3 player, modem, radio, chatting dan menjelajah internet semudah dari komputer.
Begitu juga kehadiran Facebook yang merubah wajah dunia sekarang. Membuat orang begitu mudahnya terhubung dan menjalin komunikasi, dengan teman kuliah, SMA, SMP, SD, bahkan teman imut saat masih di TK dulu. Semua orang punya kesempatan untuk bernostalgia dan mengenang saat berkumpul dengan kawan-kawan. Cukup dengan punya akun facebook maka teman-teman pun bisa dilacak keberadaannya. Bukankah menyengangkan mengetahui kabar teman kita yang dulu masih lugu-lugu itu? Kuliah dimana? Sudah nikah atau belum? Si A nikah sama siapa sih? Si anu sudah punya pasangan belum ya? Ow, Si B punya bayi, ih lucunya! Lho kok si C jadi kayak gini, padahal dulu waktu sekolah pendiem.
Saya pun memanfaatkan facebook untuk mencari teman saya saat masih SD, termasuk Inda. Begitu gembiranya ketika melihat namanya terpampang di salah satu akun facebook, nama lengkapnya membuat saya yakin kalau tidak salah orang. Dengan semangat saya pun menulis pesan dan mengirimkan permintaan pertemanan. Sepertinya dia sekarang sudah lulus kuliah.
Sama seperti dulu saya menunggu dan menunggu balasan pesan saya, berharap dia juga merasa gembira bisa bertemu saya lagi meski hanya lewat dunia maya. Namun kejadian sama terulang lagi dan balasan itu tak pernah saya terima, hanya permintaan pertemanan saja yang di-confirm-nya. Apa ada yang salah? Saya yakin kali ini saya tidak salah alamat, dan saya benar-benar menulis pesan pada akunnya.
Bepikir dan berpikir akhirnya saya merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi antara saya dan Inda. Mungkin sebuah kesalahpahaman sehingga ia tak mau membalas pesan yang saya kirimkan. Lalu saya membongkar lagi ingatan dan kenangan-kenangan, menerka bagian mana yang sudah melukai hatinya atau persahabatan kami. Namun, saya merasa tidak pernah menyakiti hatinya. Tentu saja itu adalah penilaian secara subyektif yang seringkali terjadi sehingga orang merasa tidak bersalah padahal kenyataannya tidak.
Mungkin ada suatu keadaan yang membuatnya marah sedangkan saya tidak menyadarinya, sehingga ia memutuskan menghapus saya dari ingatannya dan daftar temannya.
Saya masih beberapa kali mengunjungi akunnya dan akun adiknya, saya lumayan kenal adiknya meski ia tak terlalu ingat saya karena waktu itu ia masih kelas 2 SD. Tapi adik saya dan adik Inda berteman.  Saya pun menulis pesan pada adiknya agar menyampaikan pada Inda agar membalas pesan saya, adiknya menyanggupi dan berjanji akan bilang pada kakaknya. Saya juga memberitahu adik saya tentang akun adiknya Inda, dan sepertinya mereka berteman.
Saat sedang iseng buka facebook saya berkunjung ke ‘rumah’ Inda. Melihat kabar dan berharap dia baik-baik saja, hingga saya mendapat kabar sekitar 2 tahun lalu adiknya meninggal karena kanker. Saya ikut bersedih tapi tak menulis apa-apa karena takut akan melukai hatinya, bukankah dalam anggapan saya dia marah? Orang sedih tidak baik bertemu dengan orang yang di bencinya.
Saya hanya bercerita pada adik saya, yang tanpa saya ketahui beberapa hari kemudian mengaku chatting dengan Inda dan mengucapkan turut berduka cita. Sampai disana saya menjadi yakin bahwa memang ada sesuatu yang telah saya lakukan sehingga membuat Inda enggan mejawab pesan saya.
Entah yang mana tapi semakin saya mengingatnya pikiran-pikiran buruk semakin membuat saya bersalah. Sehingga seolah-olah semua yang terjadi saat SD dulu telah menyakitinya. Saya pun memutuskan berhenti menduga-duga dan membiarkan semua berjalan hingga mancapai akhir. Meski saya berharap suatu hari bisa bertemu lagi dengan Inda dalam keadaan bahagia.

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of Ummi Raihan.