Teko dan Manusia
Kamis, 22 November 2012
0
komentar
Manusia tak ubahnya seperti sebuah teko.
Saat teko dituang maka ia akan mengeluarkan isi yang ada di dalamnya. Bila
berisi susu maka dari corong teko keluar susu, bila isinya teh maka yang keluar
juga teh. Tak pernah ditemukan teko berisi teh tapi yang keluar malah kopi.
Manusia juga mempunyai ‘corong’ yang dari
‘corong’ itu keluar isi yang mewakili diri, corong itu bernama mulut. Mulut
dibantu dengan lidah sejatinya adalah cerminan diri pribadi. Bila ingin menilai
seseorang maka perhatikanlah apa yang ia katakan.
Seorang yang suka berburuk sangka maka ia
akan suka mengeluh, menyalahkan orang lain, dan menggerutu. Orang yang sombong
senantiasa memandang rendah orang lain, menghina, melecehkan, dan berkata yang
menyakitkan. Sebaliknya orang berhati sabar tidak mudah terpancing emosinya,
bersikap tenang, dan senantiasa berkata kebaikan.
Meski kadang orang juga bisa
berpura-pura. Meliukkan lidah, memutar otak merangkai kata yang tidak sesuai
dengan apa yang dipikirkan. Namun, itu hanya sementara saat tujuannya sedang
didepan mata, bila sudah kembali pada teman-temannya atau kembali pada
lingkungan asal maka terbongkarlah semua kepalsuan.
Mari luangkan waktu sejenak untuk mereka-reka seperti apa orang di sekitar kita.
Ini bukan dalam rangka berprasangka atau men-judge orang lain, tapi sekedar sebagai cerminan diri, bagaimanakah
kita di mata orang lain?
Seseorang tampak sifat aslinya saat
berada diantara orang-orang terdekatnya entah itu keluarga, sahabat atau
pasangan. Karena pada saat itu seseorang merasa nyaman untuk bersikap apa
adanya, mengeluarkan sifat-sifat yang mungkin memalukan bila ditampakkan di
hadapan orang lain. Perasaan aman akibat adanya ikatan membuat perasaan takut
ditinggalkan bila bersikap ‘buruk’ menjadi hilang. Misalnya Anda termasuk orang
yang jarang mandi, tapi saat menghadiri acara pernikahan maka Anda tidak akan
pergi dengan muka kusut dan badan yang bau. Anda akan berpakaian rapi, memakai
minyak wangi pokoknya kerenlah. Tapi saat kembali ke rumah berkumpul dengan
orang tua, suami, istri, atau anak pakaian rapi dan badan wangi hilang entah
kemana.
Begitupun saat berhadapan dengan orang yang
baru dikenal tidak mungkin Anda langsung mengajaknya merumpi atau bergosip,
jadi dia tidak akan tahu kalau sebenarnya Anda adalah orang yang sering
menonton acara infotainment. J
Interaksi yang berlangsung lama dengan
seseorang lambat laun akan membuat kita mengerti bagaimana sifat orang itu
sebenarnya. Selain dari perilaku, kata-kata adalah hal yang paling mencolok
dalam menilai kepribadian. Orang yang berpribadi santun, berakhlak baik tidak
akan mudah menghina atau mengumpat. Sedangkan orang yang sedikit-sedikit
mencela, sering menyumpahi orang lain, berkata kotor atau jorok tentu tidak
bisa dibilang orang yang baik, kan?
Ada orang yang punya hobi mengkritik
orang lain, ada yang gemar berbohong, namun ada juga yang bila berbicara
kata-katanya begitu menyejukkan dan menenangkan hati.
Contoh paling nyata dan mudah untuk
menilai pribadi seseorang adalah ketika ia menjadi orang tua. Lihatlah bagaimana
dia berbicara pada anak-anaknya. Apakah sarat perintah dan larangan atau penuh
kesabaran dan ketelatenan? Orang tua yang berhati sabar dan dipenuhi kebaikan
tidak akan mudah memarahi anak, gampang melabeli anak dengan sebutan ‘anak
nakal, anak pemalas, anak tidak bisa di atur’, atau menghina dan meremehkan
kemampuan anak.
Dalam tataran kehidupan sosial
kepribadian bisa ditilik dari apa yang dikatakan dihadapan orang. Apakah mengandung
kebaikan atau hanya berbusa-busa tapi tiada makna? Semakin banyak yang
dikatakan (apalagi bila tidak penting) maka semakin menunjukkan kualitas
pribadinya.
Tulisan juga mewakili perasaan dan
pikiran seseorang karena saat menulis maka pikiran akan mengejawantah secara
nyata. Contoh kecilnya adalah status di jejaring sosial dan komentar dalam
diskusi dunia maya. Bandingkanlah status atau komentar seorang ustadz dengan status
dan komentar para remaja galau, tentu jauh berbeda.
Sebagai makhluk yang tidak sempurna
banyak sekali kata-kata tidak berguna yang sempat terlontar, bahkan mungkin
menyakiti orang lain. Namun, ketidaksempurnaan itu bukan lantas dijadikan
alasan untuk melegalkan ucapan buruk kita. Berusaha, dan terus berusaha menjadi
orang yang lebih baik tetap perlu dilakukan. Tidak ada kata terlambat untuk
berubah selama kematian belum menghampiri.
Lalu bagaimana caranya berubah? Salah satunya
banyak membaca—terutama Al Quran—dan buku-buku pengembangan diri akan membuat hati
kaya. Kemiskinan hati-lah yang membuat orang gemar mengumbar kata-kata tak
berguna karena ia merasa kurang dan butuh pengakuan orang lain. Tuntunan hidup
Rasulullah yang selalu berpikir sebelum berbicara pun perlu dicontoh dan
diamalkan sehingga kata yang keluar dari mulut betul-betul berguna dan tidak
sampai menyakiti orang lain.
Semoga kita semua diselamatkan dari
bahaya lisan yang seringkali lebih tajam dan menyakiti lebih banyak orang
daripada pedang. Amin.
Baca Selengkapnya ....