Teruntuk Sahabatku, Maafkanlah!

Posted by Nasyithun Izzah Kamis, 21 Februari 2013 0 komentar

Dulu saat masih SD saya punya seorang sahabat. Namanya Inda, seorang gadis manis dan baik hati yang berasal dari keluarga kaya. Meski hanya berteman selama setahun, saya merasa mempunyai ikatan yang istimewa, setidaknya menurut saya pribadi.


Awal perkenalan saat saya baru saja pindah ke sebuah Sekolah Dasar di daerah Cianjur. Karena krisis moneter yang menyerang indonesia tahun 1998 kedua orang tua terpaksa pindah dari Garut ke Cianjur untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Waktu itu saya kelas 5 dan adik kelas 1.
Memasuki awal caturwulan 3 saya menjadi murid baru dengan segala keanehan dan kecanggungannya. Sungguh aneh rasanya saat berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Semua mata mengarah ke depan, dengan penuh penasaran. Terbata-bata mengatakan nama dan pindahan dari mana. Saat itu Inda tidak masuk sekolah, sakit katanya.
Saya duduk di bangku depan dekat dengan meja guru, tak terlalu masalah karena di sekolah lama selalu duduk di deretan depan. Ketika banyak anak menghindari duduk di depan, apalagi dekat meja guru, saya meras fine-fine saja.
Beberapa hari kemudian Inda masuk sekolah. Ternyata kursi yang saya duduki bersebelahan dengan Inda. Sebelumnya saya tidak begitu tahu siapa di sebelah saya karena waktu pertama kali masuk kelas sedang terjadi penggabungan kelas. Kelas 5 A dan 5B  digabung jadi satu ruangan, sehingga para murid duduk sekenanya. Lalu setelah pemisahan kelas barulah saya sadar kalau teman sebangku Inda pindah sekolah, dan sayalah penggantinya.
Bermodal hubungan yang cukup intens  akibat sebangku kami mulai dekat. Kami sering main bersama, pulang sekolah beli jajan dulu, atau main ke rumahnya yang besar. Beberapa kali Inda main ke kontrakan orang tua saya yang jauh dari kesan mewah. Dengan deretan gerobak bakso di halaman rumah. Ya, orang tua saya adalah pedagang bakso.
“Kenapa, sih, Rika kayaknya tidak suka kalau kita main ke rumah?” tanya Inda suatu kali. Kebetulan hari itu Inda dan seorang teman lagi ingin main ke rumah.
Terus terang saya merasa agak malu dengan keadaan keluarga. Asal usulnya yang dari keluarga berada telah menerebitkan rasa minder. Mungkin Inda akhirnya merasa kenapa tiap kali berniat main ke rumah selalu saya mencari alasan. Meski beberapa kali saya kalah juga dan berat hati mengajaknya ke rumah.
Kalau dipikir-pikir seharusnya saya tidak perlu merasa demikian karena Inda menganggap bahwa perbedaan kami bukanlah masalah. Tapi entah kenapa sejak kecil saya merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang yang status ekonominya berada di atas. Tanpa saya sadari akhirnya jadi menarik diri dari pergaulan.
Lalu setelah Ujian akhir sekolah, dulu masih disebut EBTANAS, saya kembali harus pindah. Orang tua memutuskan kembali ke kampung halaman ayah, sebab dirasa semakin susah mencari rupiah di kota. Sepertinya ayah dan ibu sengaja menunggu EBTANAS sebelum akhirnya pulang kampung.
Tanpa banyak kata akhirnya saya pindah meninggalkan kota Cianjur yang baru saja satu tahun ditinggali. Bahkan saya tidak mengucapkan salam perpisahan pada Inda dan teman-teman lain. Pun tak bisa menerima piala sebagai peraih NEM tertinggi di sekolah, karena acara perpisahan dilakukan setelah kepulangan kami sekeluarga.
Tentu perasaan kehilangan itu ada, tapi pikiran anak-anak yang masih sederhana belum bisa mengartikan sepenuhnya apa arti sebuah perpisahan. Semua dianggap berjalan sebagaimana mestinya tanpa perlu bertanya apalagi protes.
Saya pun mulai disibukkan dengan pendaftaran sebagai murid SMP dan mulai merasakan semangat baru. Membayangkan memakai seragam biru-putih terasa menyenangkan. Dunia anak-anak akan segera ditinggalkan dan beralih ke remaja, meski sebenarnya masih terlalu dini untuk menyebut ‘remaja’. Tapi setidaknya itulah gambaran saya waktu itu.
Perlahan Inda mulai menjadi kenangan, yang tertutup oleh pengalaman-pengalaman baru . Hingga mendekati akhir tahun saya tiba-tiba teringat ‘nasib’ kawan saya itu. Bagaimana kabarnya? Sekarang sekolah dimana? Di kelas apa? Siapa saja yang satu SMP dengannya?
Akhirnya saya menulis surat sekitar 2 lembar dengan tulisan yang awut-awutan. Tapi sialnya saya tidak tahu alamatnya. Lalu saya mengorek-ngorek ingatan, mencoba mengingat saat saya masih sering main ke rumahnya. Hmm.. rumahnya masuk gang dan ada nomor 88 nya di rumah. Ah, mungkin itu! Tanpa pikir panjang saya menuliskannya. Setelah menempel perangko kemudian saya poskan di kantor pos sepulang sekolah. Saya berharap Inda segera membalasnya.
Saya menunggu dan mereke-reka surat itu sudah sampai mana, apakah Inda sudah menulis balasannya, bagaimana perasaannya menerima surat itu? Saya terus menunggu, hingga akhirnya saya lupa berapa lama menunggu dan surat itu seperti hilang di telan bumi. Balasan itu tidak datang, atau bahkan surat itu memang tak pernah Inda terima? Atau jangan-jangan ia marah dan membakar surat itu?
Seperti roda, kehidupan terus berjalan sayapun memutuskan untuk tak lagi memikirkan Inda dan surat itu. Mungkin alamatnya yang salah, percuma menulis lagi kalau alamatnya tak tahu pasti. Kadang saya merasa bersalah, kenapa dulu tak berpamitan dan menanyakan alamatnya.
Bertahun-tahun orang-orang melalui garis takdir yang telah ditetapkan untuknya. Pun kehidupan saya tak berhenti karena Allah memang belum memutuskan untuk menghentikan nafas ini. Perkembangan teknologi dengan segala dampaknya telah membawa perubahan yang sangat besar terutama dalam hal komunikasi yang berkembang begitu cepat.
Sejak penggunaan telepon seluler meluas semua seolah berkembang tanpa batas, dunia menjadi luas dan bisa terkoneksi dengan orang-orang yang sangat jauh, cukup menekan tombol-tombol yang ada di tangan. Lalu ponsel berkembang bukan hanya untuk telepon dan sms, berbagai perangkat telah ditambahkan, kamera, mp3 player, modem, radio, chatting dan menjelajah internet semudah dari komputer.
Begitu juga kehadiran Facebook yang merubah wajah dunia sekarang. Membuat orang begitu mudahnya terhubung dan menjalin komunikasi, dengan teman kuliah, SMA, SMP, SD, bahkan teman imut saat masih di TK dulu. Semua orang punya kesempatan untuk bernostalgia dan mengenang saat berkumpul dengan kawan-kawan. Cukup dengan punya akun facebook maka teman-teman pun bisa dilacak keberadaannya. Bukankah menyengangkan mengetahui kabar teman kita yang dulu masih lugu-lugu itu? Kuliah dimana? Sudah nikah atau belum? Si A nikah sama siapa sih? Si anu sudah punya pasangan belum ya? Ow, Si B punya bayi, ih lucunya! Lho kok si C jadi kayak gini, padahal dulu waktu sekolah pendiem.
Saya pun memanfaatkan facebook untuk mencari teman saya saat masih SD, termasuk Inda. Begitu gembiranya ketika melihat namanya terpampang di salah satu akun facebook, nama lengkapnya membuat saya yakin kalau tidak salah orang. Dengan semangat saya pun menulis pesan dan mengirimkan permintaan pertemanan. Sepertinya dia sekarang sudah lulus kuliah.
Sama seperti dulu saya menunggu dan menunggu balasan pesan saya, berharap dia juga merasa gembira bisa bertemu saya lagi meski hanya lewat dunia maya. Namun kejadian sama terulang lagi dan balasan itu tak pernah saya terima, hanya permintaan pertemanan saja yang di-confirm-nya. Apa ada yang salah? Saya yakin kali ini saya tidak salah alamat, dan saya benar-benar menulis pesan pada akunnya.
Bepikir dan berpikir akhirnya saya merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi antara saya dan Inda. Mungkin sebuah kesalahpahaman sehingga ia tak mau membalas pesan yang saya kirimkan. Lalu saya membongkar lagi ingatan dan kenangan-kenangan, menerka bagian mana yang sudah melukai hatinya atau persahabatan kami. Namun, saya merasa tidak pernah menyakiti hatinya. Tentu saja itu adalah penilaian secara subyektif yang seringkali terjadi sehingga orang merasa tidak bersalah padahal kenyataannya tidak.
Mungkin ada suatu keadaan yang membuatnya marah sedangkan saya tidak menyadarinya, sehingga ia memutuskan menghapus saya dari ingatannya dan daftar temannya.
Saya masih beberapa kali mengunjungi akunnya dan akun adiknya, saya lumayan kenal adiknya meski ia tak terlalu ingat saya karena waktu itu ia masih kelas 2 SD. Tapi adik saya dan adik Inda berteman.  Saya pun menulis pesan pada adiknya agar menyampaikan pada Inda agar membalas pesan saya, adiknya menyanggupi dan berjanji akan bilang pada kakaknya. Saya juga memberitahu adik saya tentang akun adiknya Inda, dan sepertinya mereka berteman.
Saat sedang iseng buka facebook saya berkunjung ke ‘rumah’ Inda. Melihat kabar dan berharap dia baik-baik saja, hingga saya mendapat kabar sekitar 2 tahun lalu adiknya meninggal karena kanker. Saya ikut bersedih tapi tak menulis apa-apa karena takut akan melukai hatinya, bukankah dalam anggapan saya dia marah? Orang sedih tidak baik bertemu dengan orang yang di bencinya.
Saya hanya bercerita pada adik saya, yang tanpa saya ketahui beberapa hari kemudian mengaku chatting dengan Inda dan mengucapkan turut berduka cita. Sampai disana saya menjadi yakin bahwa memang ada sesuatu yang telah saya lakukan sehingga membuat Inda enggan mejawab pesan saya.
Entah yang mana tapi semakin saya mengingatnya pikiran-pikiran buruk semakin membuat saya bersalah. Sehingga seolah-olah semua yang terjadi saat SD dulu telah menyakitinya. Saya pun memutuskan berhenti menduga-duga dan membiarkan semua berjalan hingga mancapai akhir. Meski saya berharap suatu hari bisa bertemu lagi dengan Inda dalam keadaan bahagia.

Baca Selengkapnya ....

Goresan Pena Seorang Istri

Posted by Nasyithun Izzah Jumat, 15 Februari 2013 0 komentar

Menjadi wanita karier? Sangat menggiurkan
Setiap hari mematut diri, berpakaian rapi
Serasa dunia tergenggam dalam tangan
Sebagai bukti eksistensi diri
Memuaskan ego untuk diakui, kalau layak mendapat puji
Engkau tahu suamiku, semakin tinggi jabatan seorang wanita
Semakin di segani lah dia, dielu-elu sebagai wanita hebat
Mampu mengalahkan laki-laki
Bukan yang seperti ini, setiap hari hanya mengurusi
Segala remeh temeh pernik rumah
Ditambah ompol dan kotoran bayi
Bukan, bukan seperti ini seorang wanita hebat itu

Engkau ingat suamiku, saat permintaan itu keluar dari mulutmu
Waktu itu masih hitungan hari setelah akad
Untuk menghapus semua fotoku di dunia maya
Menghapus di setiap media sosial
Memberontak tentu saja aku
Merasa tak ada yang salah dengan wajahku
Mencoba mencerna dan menduga
Ada apa gerangan dengan dirimu?
Berat kulakukan perintah itu
Hingga suatu hari lama setelah kejadian itu
Baru kusadari bahwa tanpa sadar
Engkau ingin berkata kalau aku adalah permata
Permata yang hanya ingin dinikmati sendiri
Tanpa terbagi, tanpa dipuji
Menjadi milikmu seorang, sebab tak rela berbagi

Hampir tiga tahun pernikahan
Banyak yang akhirnya ku mengerti
Kalau tempatku adalah disisimu
Sebagai dermaga tempat dirimu yang lelah berlabuh
Menumpahkan rasa dan harapan
Aku adalah dermaga, yang tak akan kemana-kemana
Terpancang kuat hingga ke dasar
Tegar menanti dirimu pulang
Merelakan diri tak dikenal, karena dermaga ini hanya milikmu seorang
Saat kau mulai memeluk mimpi-mimpi
Merasai sakit duri-duri
Aku akan disampingmu dan tersenyum
Menjadi orang pertama yang membela
Saat dunia memusuhi
Walau orang akan melupakanku
Tapi ku harapa Allah tidak akan lupa
Untuk menuliskan di catatanku
Ummi Raihan, seorang istri yang berbakti.





Baca Selengkapnya ....

Bila Istri Marah

Posted by Nasyithun Izzah Rabu, 13 Februari 2013 2 komentar


Kehidupan rumah tangga tidaklah mulus-mulus saja. Banyak riak-riak kecil yang menggoyang biduk atau terkadang ombak besar menghantam hingga membuat perahu perkawinan terbalik hampir karam. Ada yang berhasil membalik lagi perahunya kemudian membersihkan air yang masuk geladak tapi tak sedikit yang akhirnya membiarkan perahunya tenggelam ke dasar lautan.
Diantara riak itu adalah perasaan marah. Mulanya hanya riak kecil tapi bila tak tertangani dengan baik maka marah bisa berubah menjadi gelombang yang menghancurkan rumah tangga. Dua orang yang bersatu dalam perkawinan pastilah membawa ego masing-masing. Sebelum bertemu pasangan mereka dibesarkan dalam keluarga dengan pola pendidikan berbeda. Teman-teman dan lingkungan juga berbeda maka tak jarang perbedaan ini menimbulkan pergesekan.
http://hettapiburger.deviantart.com
Seorang istri mengeluh suaminya tidak romantis, tidak mau mandi, dan ingin menang sendiri.  Kadang terlalu perhitungan dalam keuangan. Sedang suami merasa istri terlalu cerewet dan banyak menuntut. Hal-hal seperti ini sering terjadi, sehingga menyulut amarah yang berujung saling menyalahkan.
Secara alami perasaan marah dan tidak puas lebih sering melanda perempuan daripada. Hal ini disebabkan perempuan lebih sensitif dan menginginkan segala sesuatunya sempurna, walaupun dirinya memiliki kekurangan sana-sini. Ditambah pengaruh hormon yang seringkali berdampak pada ketidakstabilan emosi. Bila perasaan marah menguasai maka tidak ada kebaikan yang nampak di matanya, kemudian tanpa sadar gerutuan bahkan cacian keluar dari mulut.
Islam memberi tuntunan yang jelas dalam masalah ini yaitu seorang istri tak boleh berbicara diatas bicara suaminya yang berarti nada bicara istri tidak boleh lebih tinggi daripada suami, apalagi sampai membentak, menghina, dan memukul suami. Kedudukan suami sangat tinggi dalam keluarga.
Mungkin sebagian besar perempuan bertanya-tanya kenapa aturan ini hanya ditujukan bagi para istri, padahal ada suami yang juga bicaranya kasar maka tidak bolehkah istri membalas dengan perkataan serupa?
Ini karena hak suami atas istri sangatlah besar sebanding dengan kewajibannya. Suami harus mencari nafkah, melindungi keluarga, menghindarkan diri dan keluarganya dari api neraka, menjaga kehormatan, menjamin semua keluarga hidup dengan baik, pengambil keputusan, bertanggung jawab terhapap perilaku istri dan anaknya, dan suamilah yang akan ditanyai menegenai kepemimpinannya di akhirat kelak.
Bahkan sebenarnya tanggung jawab menyiapkan makanan, mengerjakan urusan rumah tangga adalah tanggung jawab suami. Karena itu jika Anda berkesempatan berkunjung ke negara-negara arab yang ajaran islam dijadikan hukum maka Anda akan melihat para istri disana hanyalah mengurusi suami dan mendidik anak-anaknya. Sedangkan urusan rumah tangga suami yang mengerjakan atau paling tidak menggaji seorang pembantu. Ke sanalah para TKW kita banyak dibutuhkan.
Berbeda dengan negara kita yang secara budaya mengatakan bahwa mencuci, masak, membersihkan rumah adalah tugas istri, padahal jika para istri tahu apa yang mereka lakukan bukanlah pekerjaan rendahan yang identik dengan perempuan berpendidikan rendah, tentu banyak wanita lebih memilih di rumah. Sesungguhnya setiap pekerjaan yang menyangkut urusan rumah tangga adalah sedekah yang balasan tertingginya adalah surga. Bukankah Allah Maha Pemurah yang menjadikan urusan rumah tangga sebagai jalan menuju pintu ampunanNya?
Urusan rumah tangga inilah yang juga kerap membuat istri ‘kalap’ dan akhirnya menuduh suami tidak pengertian serta merasa menjadi orang yang paling banyak berkorban dan menderita. Para istri merasa kelelahan dan merana, karena tiap hari hanya berkutat dengan tetek bengek rumah tangga sehingga tidak bisa jalan-jalan, belanja, atau ke salon memanjakan diri. Tak bisa berkumpul dengan teman-teman dan mengikuti trend terbaru.
Istri juga merasa suami tidak pernah mengerti penderitaan istri dan mementingkan dirinya sendiri, lalu pada saat itu yang tampak hanya keburukan suami saja.
Salah satu sifat wanita adalah apabila marah ia melupakan kebaikan suami. Seandainya suami melakukan kebaikan selama 23 jam maka itu tidak ada artinya bila istri marah, meski keburukan suami hanyalah 1 jam.
Keluhan istri misalnya berkata, “Ah, suamiku itu susah sekali diatur, baju sering berantakan, sepatu sering kotor, seperti habis dari sawah saja. Kita kan susah nyucinya, mana bau keringetnya gak enak banget. Bahkan tanpa tanya-tanya ngasih makanan di rumah buat pengemis, padahal kan aku yang capek-capek masak.”
Biasanya sesama perempuan akan merasa simpati dan dalam hati ikut mengata-ngatai suaminya. Namun sebenarnya suami sudah melakukan kebaikan yang amat banyak, ia bekerja mencari nafkah lalu diberikan ke istrinya, saat istri tidur ia yang bangun menggantikan popok anaknya, masakan istri terlalu asin suami diam saja, istri menggerutu suami menerima lapang dada, suami membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, seminggu sekali diajak makan di restoran enak. Tapi hanya gara-gara ‘berantakan’ dan bersedekah makanan kebaikannya yang begitu banyak hilang sudah.
Dalam acara Mamah Dedeh di salah satu stasiun TV ada seorang ibu-ibu yang mengadu kalau suaminya tidak pehatian pada keluarga, semua uangnya digunakana untuk memenuhi hobinya. Hingga si istri merasa tidak dinafkahi.
Lalau Mamah Dedeh bertanya, “Selama ini buat masak uang dari mana?”
“Dari suami,” jawab si ibu.
“Buat sekolah anak-anak, uang dari mana?”
“Dari suami,”
“Buat kebutuhan ini-itu, siapa yang ngasih duit?”
“Ya, suami.”
“Lalu kenapa bilang suami tidak perhatian?”
“Tapi, kan pas-pasan, Ma. padahal dia punya uang tapi habis digunakan buat hobinya.”
Lalu dengan tegas Mamah Dedeh bilang, “Itu namanya Anda sebagai istri kurang bersyukur. Suami udah ngasih nafkah masih dibilang nggak perhatian. Suami itu memang berkewajiban ngasih nafkah, tapi tidak wajib memberikan semua penghasilan pada istri. Selama kebutuhan rumah tangga terpenuhi terserah suami uangnya mau dipakai buat apa, kan itu hasil usaha suami.”
(Percakapan diatas kurang lebih isinya begitu, saya tidak bisa menuliskan secara persis karena tidak punya rekamanannya)
Itulah sebabnya Rasulullah bersabda bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah wanita (maaf, saya tidak bisa menuliskan hadisnya secara lengkap) bukan karena wanita melakukan dosa besar seperti membunuh atau berzina tapi karena kufur (durhaka) pada kebaikan suami.
Karena itu saat marah berusahalah mengendalikan diri, paling tidak jaga lisan ini agar tak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan suami. Ingat-ingatlah kebaikan suami dan pahamilah bahwa tiap orang bisa melakukan kesalahan termasuk suami. Tiap orang juga punya kebiasaan buruk yang untuk mengubahnya butuh waktu dan kesabaran. Bukankan kita juga punya kebiasaan buruk?
Saat menikah adalah saat kita berjanji untuk menerima kelebihan dan kekurangan suami sekaligus, satu paket utuh. Tak bisa memilih hanya kebaikannya saja dan menafikan kelemahanya. Kekurangan suami yang disebutkan terus menerus akan membuat jengkel dan marah hatinya, hingga bisa saja suami meluapkan kemarahannya yang selama ini terpendam dan pada akhirnya istrilah yang terluka.
Dan yang paling penting membuat suami murka dan meyakiti hatinya amat besar dosanya di sisi Allah. Semoga kita diberi kesabaran dalam mengarungi biduk rumah tangga,sehingga selamat sampai pelabuhan terakhir yaitu surga yang penuh kenikamatan. Amin.




Baca Selengkapnya ....

BAYI TERLAHIR TANPA ANUS MENGHARAPKAN ULURAN TANGAN

Posted by Nasyithun Izzah Selasa, 12 Februari 2013 0 komentar


Pada tanggal 03 November 2012, Zulnaldi sedikit sumringah dengan kelahiran anaknya yang kelima, anaknya laki-laki lahir ditempat ibu bidan yang ada di dekat rumahnya, ia tampak ganteng seperti arjuna. Setidaknya ibu dan bayinya selamat walaupun sewa kontrakan 3 bulan belum sempat dibayar dan motor kreditan minggu depan akan ditarik oleh debt collector karena menunggak pembayaran.

Harapannya dengan kelahiran anaknya yang kelima yang diberi nama Azizul Akbar Nasri ini akan membawa suasana rumahnya akan menjadi hangat dan ramai. Baginya anak adalah rezeki dan setiap anak yang dilahirkan sudah ada rezekinya masing-masing. Tinggal orang tua berusaha untuk mencari jalannya.

Tapi tidak disangka setelah 3 hari berlalu, sang jabang bayi menangis tiada henti. Azizul menolak ASI dan susu botol, ia terus menangis. Suaranya semakin keras sehingga meresahkan dan mengganggu tetangga disekitarnya. Zulnaldi mulai panik dan berusaha mencari penyebab bayinya menangis. Ia mulai meneliti satu persatu anggota badan sang bayi, mata, hidung, telinga, tangan dan kaki semua lengkap. Tapi masya Allah, setelah ia membuka celana popok anaknya dengan rasa tidak percaya Azizul ternyata tak punya anus! Inikah sebabnya anaknya menangis terus? Pantas saja selama tiga hari setelah kelahirannya Azizul tak bisa mengeluarkan kotoran.

Kemudian sang bayi dibawa ke RSUD tapi ditolak karena fasilitas yang kurang mendukung. Akhirnya dokter setempat merekomendasikan agar anaknya dibawa ke RS awal bros. Dengan tergesa-gesa Zulnaldi langsung menuju RS tersebut dengan harapan bayinya segera ditangani dengan cepat dan agar bayi selamat. Meski RS Awal Bros adalah rumah sakit swasta mahal yang pastinya bertarif selangit, tapi demi anak segala cara harus dicoba.

Setelah tiba di RS Awal bros Azizul langsung diproses. Satu minggu kemudian dokter menemui Zulnaldi dan mengatakan bahwa bayinya mengalami kerusakan pada ususnya sehingga tidak dapat langsung menyambungkan ke jalur anus. Solusi sementara, dibuat anus sementara di samping perut .
“Tunggulah 6 bulan kemudian anaknya dioperasi lagi dan jangan lupa setelah ini Bapak menuju ke ruang administrasi,” kata dokter.

Setelah mengambil perobatan untuk anaknya, Zulnaldi langsung menuju ruang adminnistrasi. Zulnaldi kaget bukan kepalang melihat biaya yang sangat jauh dari dugaanya, untuk sementara butuh biaya 150.000.000, Masyaallah, bagaimana bayarnya ini…?

Selama ini ia termasuk salah satu mustahik (penerima zakat) dari lembaga amil zakat. Bisa dibayangkan bagimana kehidupannya yang pas-pasan bisa menutupi biaya rumah sakit anaknya yang mencapai 150 juta. Membayangkannya saja sudah membuat kepalanya berkunang-kunang. Semua jalan seolah buntu, mana ada yang mau meminjamkan uang 150 juta tanpa jaminan apapun. Sedang rumah saja mengontrak dan kredit motorpun sudah menunggak beberapa bulan. Belum lagi ditambah biaya hidup istri dan anak-anaknya yang lain.

Sekarang sang bayi yang berusia 3 bulan masuk rumah sakit lagi, sudah hampir 2 minggu di lantai 2 ruang ICU (NICU) RS Awal Bros. Tak terbayang berapa lagi uang yang harus dikeluarkan untuk menyambung hidup anaknya.

Sahabat betapa banyak dari kita yang hidup berkecukupan bahkan berlebih. Baju bagus, makan enak, gadget terbaru, bisa BBM-an, dan shopping di akhir pekan. Sementara ada saudara kita yang tengah berjuang demi kehidupan anaknya, berusaha mengumpulkan rupiah demi rupiah yang entah sampai kapan bisa mencapai 150 juta.

Mari ulurkan tangan dan memberikan sedikit dari rezeki yang telah Allah anugerahkan pada kita. Sungguh di dalam hartamu ada bagian untuk orang-orang miskin baik yang meminta maupun yang tidak meminta.

Dan sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak akan menyia-nyiakan orang yang bersedekah, akan diberkahi hidupnya dan diselamatkan dari bencana. Ia akan menggantinya berkali-kali lipat. Mahasuci Allah yang memberikan nikmat pada orang yang dikehendaki tanpa perhitungan.

Jangan tunda lagi, sisihkanlah sepuluh, dua puluh, lima puluh, atau seratus ribu dari dompet kita. 20.000 bisa habis untuk sekali makan tapi bila disedekahkan maka tak akan habis sampai hari kiamat.
50.000 bila dibawa ke minimarket terlihat kecil sekali, ambil beberapa barang ternyata sudah lebih dari 50 ribu tapi kalau disedekahkan subhanallah akan menjadi penolong di hadapan pengadilan Allah.

Dengan mengucapkan bismillah dan hati ikhlas memberikannya bagi saudara kita. Yakinlah Allah tidak pernah tidur dan tidak pula lalai, seperti yakinnya sahabat ketika dizalimi bahwa orang yang berbuat zalim akan mendapat balasan. Gusti Allah mboten sare!

Bila sahabat ingin informasi lebih lanjut bisa menghubungi ke 0770 – 611901 atau 081364414517/0813-6467-5991
Ulurkan Cinta sahabat bisa melalui datang secara langsung ke Layanan DSNI Amanah/jemput Donasi kealamat Atau transfer ke rekening LAZ DSNI Amanah - Muka Kuning Batam:
BCA -> 3261710101 a/n Yayasan Dana Sosial Nurul ISlam
BSM -> 0380001909 a/n Dana Sosial Nurul Islam
BNI Syariah -> 0700070709 a/n DSNI Amanah
BNI -> 0128208314 a/n DSNI Amanah
BMI -> 4110009415 a/n Yayasan DSNI Amanah
Mandiri -> 109-00-0310265-4 a/n Dana Sosial Nurul Islam
BTN -> 00352.01.30.000044.4 a/n Nurul Islam Amanah Dansos
BJB -> 0015401109001 a/n Yayasan Dana Sosial Nurul Islam Amanah
 
Setelah transfer mohon sms ke nomor 081364414517 a.n. siswanto dengan menyebutkan nama, transfer dari bank mana, dan nominal transfer.

“Alangkah indah orang bersedekah
dekat dengan Allah dekat dengan surga
tak kan berkurang harta yang sedekah
akan bertambah akan bertambah

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of Ummi Raihan.