Anak, Pekerjaan, dan Pengasuhan
Kamis, 03 Januari 2013
1
komentar
Apakah Anda mencintai anak Anda?
Tentu saja! Tidak diragukan lagi setiap orang tua secara fitrah akan mencintai
anaknya. Andai perasaan seperti ini tidak ada maka manusia tidak akan ada di
dunia ini. orang tua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak peduli
terhadap kebutuhan hidup mereka, cuek saja saat anak sakit. Bahkan kecintaan
orang tua begitu besarnya sampai tak pernah terpikir untuk meminta imbalan atau
ganti rugi pada anaknya.
Apalagi bagi pasangan yang sudah
lama mengharapkan kehadiran buah hati, anak adalah harta yang tak ternilai,
jauh lebih berharga dari emas, rumah, tanah, atau mobil. Mereka melakukan
berbagai macam cara dari yang realistis sampai mistis. Ada yang menempuh jalan
sesuai syariat ada juga yang malah terjerumus pada kemusyrikan. Sungguh luar
biasa arti seorang anak, anak yang lahir dari darah daging sendiri.
Lalu ketika sang buah hati lahir
apa yang dilakukan orang tua? Pastilah mereka akan merawat dengan
sebaik-baiknya, memberikan susu terbaik, membelikan pakaian yang lucu-lucu,
mainan berlimpah, hingga mendesain kamar khusus bagi anak. Saat orang tua
melihat anaknya tumbuh sehat, gemuk, lincah, berjalan tertatih, belajar bicara,
dan bisa menghitung satu –dua-tiga betapa bahagianya. Seolah celotehan balita
yang tidak jelas bicaranya lebih merdu dari suara penyanyi terbaik manapun.
Namun sayangnya banyak orangtua
yang ‘menelantarkan’ anaknya dalam hal pendidikan dan kasih sayang. Pendidikan
dipandang cukup oleh orang tua jika sudah bisa memasukkan anaknya ke TK mahal,
SD prestisius, SMP favorit sampai universitas terkenal. Tidak ada yang lebih
baik daripada menempatkan anaknya diantara anak-anak pintar dan sekolah
terbaik. Salahkah? Tentu tidak, sekolah yang baik tentu sedikit banyak akan
membawa pengaruh dalam kehidupannya.
Tapi sebenarnya sekolah pertama
dan utama adalah keluarganya, namun disinilah anak tidak mendapat pendidikan
yang semestinya. Sekarang ini jamak kita lihat para ibu keluar rumah untuk
bekerja, memberikan pengasuhan anak pada sang nenek, baby sitter, atau
pembantu. Bahkan kalau dihitung-hitung gaji tiap bulan bila dibayarkan pada
baby sitter dan pembantu ternyata hampir impas.
Meski dianggap kuno, secara
kodrat ayahlah yang bertugas mencari nafkah. Itu karena para ayah diberikan
kelebihan fisik yang kuat, pemikiran yang stabil, tidak mudah terpengaruh
emosi, dan bila pulang malam lebih bisa menjaga dirinya (kebayang kan bila
wanita pulang larut malam? Jalanan adalah tempat kejahatan). Selain itu ayah
cenderung bersifat keras, kurang sabar, dan kasar sangat tidak cocok dalam
mengasuh anak-anak. Apalagi anak-anak selalu punya tingkah ‘ajaib’ yang menurut
orang tua seringkali tidak masuk akal.
Lalu kalau keadaan ekonomi
kurang apakah istri tidak boleh bekerja? Bekerjanya istri harus mendapat ijin
suami, dalam syariat islam seorang istri hanya bertugas melayani suami dan
mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika mampu suami harus mencarikan orang untuk
membantu urusan rumah tangga agar istri
lebih fokus mengasuh anak. Kalau seandainya mengalami kekurangan dalam penghasilan
lebih utama istri bekerja di rumah, sesuai dengan keterampilannya. Sehingga
anak tetap ada dalam pengawasan, karena semua yang terjadi pada anak-anak akan
menjadi landasan kehidupannya kelak dewasa.
Kalau tidak punya keterampilan?
Tidak mungkin! Allah pasti memberikan kelebihan pada setiap hambaNya. Ada yang
pintar masak, menulis, membuat kerajinan, menyulam, merajut, membuat kripik,
merias, dan berbagai keterampilan lain. Kalau merasa tidak punya juga coba
lihat pendidikan Anda, bagi sarjana psikologi
bisa membuka klinik konsultasi di rumah, bagi yang SMA nilai
matematikanya bagus bisa memberi les pada anak SD (secara matematika SD kan
belum seruwet matematika SMA hehe), kalau yang prestasi akademik dan keterampilan
pas-pasan masih cara lain. Misalnya jadi makelar barang-barang, jadi reseller
baju, sepatu, buku, lalu promosi ke komunitas arisan, ibu-ibu tetangga, milis,
facebook, twitter, pokoknya banyak cara untuk menambah penghasilan tanpa perlu
bekerja di kantor, toko, bank, yang pasti menyita waktu yang amat berharga bagi
perkembangan anak.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya
Allah tidak akan lupa memberi rejeki pada hambaNya, tinggal kita mau bersyukur
atau tidak. Bila seorang istri tidak bekerja Allah akan memberikan rejeki itu
lewat suaminya. Misalnya suami jadi sering dapat bonus, suami naik jabatan,
suami dapat pekerjaan yang lebih baik, atau dagangan suami jadi tambah laris,
bisnis maju, karier melesat. Terus karena istri fokus dirumah melayani suami
maka suami merasa tenang dan bahagia berdekatan dengan istri, nah pada saat itu
biasanya suami jadi loyal, apa yang diminta istri diberikan (asal mintanya
nggak keterlaluan ya). Enak kan nggak kerja tapi tetep dapat uang buat beli
baju, jajan, sepatu, tas, dll hehe...
Banyak teman saya yang mengeluh
betapa repot dan capeknya saat mengasuh anak terutama balita. Mereka lebih
nyaman bekerja karena merasa lebih eksis, percaya diri, dan bisa melepaskan
kepenatan di rumah. Memang tantangan utama menjadi ibu rumah tangga adalah
lelah dan bosan. Bagaimana tidak bosan bila dari membuka mata sampai menutup
mata yang dikerjakan sama, bahkan tengah malam harus siap-siap bangun bila anak
rewel. Berbeda bila bekerja, bisa bertemu orang-orang, bercanda, makan siang
bersama rekan, perjalanan dinas, bahkan rasanya pekerjaan seberat apapun di
kantor lebih baik daripada seharian mendekam di rumah bersama anak.
Padahal saat hamil mereka
terlihat sangat bahagia, berbagai status berbunga-bunga di jejaring sosial
seolah ingin berkata pada dunia “Woi, sebentar lagi gue akan punya bayi!”. Tak
sabar menunggu jadwal kunjungan dokter untuk mengintip si dedek yang sedang
tumbuh di rahim. Namun ketika anak yang ditunggu-tunggu lahir, tiba-tiba mereka
merasa kelelahan, kerepotan, kebosanan, hingga akhirnya bersyukur bisa kembali
bekerja.
Saya yakin tidak semua ibu
demikian, tapi yang perlu disadari bahwa pengalaman pernah bekerja secara tidak
sadar menjadi pembanding dalam mengasuh anak. Sehingga para ibu menjadi tidak
sabar dan telaten. Saya pun mengalaminya, saat menjalani kehidupan sebagai ibu
rumah tangga maka hal yang paling membuat saya tertekan adalah lelah, bosan,
dan merasa tidak berguna. Seolah menjadi ibu rumah tangga sangat tidak ada
harganya, apalagi bila melihat teman yang kerja di kantor-kantor berpakaian
rapi, cantik, dan modis. Sangat berbeda dengan saya yang sering memakai pakaian
rumahan, itupun baunya sudah tidak karu-karuan campur baur antara bumbu
masakan, keringat, dan ompolnya Raihan. Rambutpun lebih banyak berantakan
karena sering jadi ajang mainan anak saya yang luar biasa kelakuannya.
Tapi saya tidak mau lama-lama
hanyut dalam perasaan yang membuat saya semakin jatuh. Ketika menikah maka saya
sudah siap untuk total di rumah, apalagi ada hadist yang mengatakan bila istri
meninggal dan suami ridha kepadanya maka Allah akan memasukkannya ke dalam
surga. Kemudian saya mencoba menikmati peran saya, mengisi waktu disela-sela
pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Raihan dengan melakukan hobi contohnya
menulis di blog seperti ini. Selain itu saya juga suka membuat kue-kue, saya
yakin suatu saat kemampuan ini akan berguna dan insya Allah dicatat sebagai
amal kebaikan.
Sepertinya tulisan ini sudah
terlalu panjang, meski tidak pas lebih baik dipotong di sini saja. Insya Allah
dilanjutkan lagi. Apalagi ini adalah kesempatan berharga untuk tidur, karena
Raihan pun sedang tidur, lumayanlah merebahkan badan barang setengah jam,
sebelum dia bangun dan menguasai laptop untuk main game dan nonton upin ipin.
Salam hangat.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Anak, Pekerjaan, dan Pengasuhan
Ditulis oleh Nasyithun Izzah
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://sayaummiraihan.blogspot.com/2013/01/anak-pekerjaan-dan-pengasuhan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Nasyithun Izzah
Rating Blog 5 dari 5
1 komentar:
Subhanallah tulisannya sangat menginspirasi
~Mama Aqila
Posting Komentar