Mendidik Anak Itu... Penting!
Kamis, 17 Januari 2013
0
komentar
Meski anak adalah harta yang
sangat berharga sebagian orang menganggap memilki anak adalah sebuah kewajaran.
Ketika dua orang menikah selanjutnya pastilah punya momongan. Apalagi kalau
setelah satu dua bulan menikah si istri langsung hamil, jadi tidak perlu
merasakan penantian panjang. Bahagia itu pasti, tidak ada orang yang tidak
bahagia dengan kehamilan pertama dalam sebuah pernikahan.
Namun seperti yang dikatakan
diawal punya anak tidak lebih dari konsekuensi logis sebuah pernikahan. Orang tua
lalu melakukakan hal-hal yang biasa dilakukan orang-orang misalnya memeriksakan
kandungan setiap bulan, mengikuti pantangan-pantangan yang sering kali tidak
terbukti kebenaranannya, melakukan tigabulanan, tujuh bulanan yang semua itu
tidak ada dalam syariat islam. Tapi mereka justru melupakan hal yang penting
yaitu pendidikan anak.
Pendidikan anak sangat penting
untuk direncanakan, bukan hanya menikah. Pola asuh seperti apa yang akan
diterapkan pada anak-anak dan bagaimana menyikapi bakat-bakat alami mereka. Sangat
tidak adil jika kehidupan mereka—anak-anak yang luar biasa ini—terabaikan,
mengubur bakat mereka dan menjadikan mereka manusia-manusia yang hanya menunggu
pagi saat malam dan menunggu malam saat pagi.
Banyak yang mengatakan let it flow sajalah atau biarkan mengalir
mengikuti air atau arus kehidupan tapi tidaklah sesuatu itu yang mengikuti arus
itu kecuali berakhir di comberan. Jika ingin
menjadi pemenang maka yang harus dilakukannya adalah tidak mudah terbawa arus,
karena arus itu melenakan dan sedikit demi sedikit membawa pada kehancuran.
Melelahkan memang namun tidak
ada keberhasilan tanpa usaha. Setiap usaha tidak selalu berujung keberhasilan,
tapi keberhasilan mutlak memerlukan usaha. Demikian juga dalam mengasuh anak,
tanpa perencanaan maka anak akan tumbuh apa adanya, tanpa punya prinsip hidup,
terhanyut dalam budaya permisif (serba membolehkan) dan pragmatis (mengutamakan
kepraktisan tanpa memikikan akibat jangka panjang). Kondisi ini hanya akan
melahirkan generasi ‘buruh’ yang mengharapkan mendapatkan pekerjaan, konsumtif,
dan mati kreativitasnya.
Saat ditanya apa harapan orang
tua bagi anaknya? Banyak yang berkata ingin anaknya menjadi anak yang soleh,
berbakti pada orang tua, dan bermanfaat bagi masyarakat. Tapi berapa banyak
yang bersungguh-sungguh mewujudkannya? Berapa banyak orang tua yang mau
bersusah payah belajar, mempelajari dengan kesabaran bakat-bakat anaknya?
Contoh kecil saja apa yang Anda
lakukan jika tiba-tiba anak Anda menumpahkan makanannya, lalu
mengacak-ngacaknya dan terakhir mengusapkan pada rambutnya seolah-olah sedang
keramas? Berteriak? Marah? Atau panik? Mengatakan bahwa makanan itu tidak boleh
dibuat mainan sambil melotot dan mengeluarkan gerutuan sepanjang kereta api?
Raihan pernah melakukannya. Saat terlepas dari
pengawasan dia memasukkan kedua tangannya dalam mangkok menumpahkannya lalu
dengan mengusap-usap rambutnya. Terkejut tentu saja, tapi sebenarnya hal itu
tidak perlu memancing reaksi berlebihan. Makanan yang tumpah bisa dibersihkan,
rambut yang kotor bisa keramas, mudah bukan? Tak perlu mengeluarkan energi lebih
dengan marah dan menyalahkan anak, karena hatinya bisa terluka. Ih, masa sih anak dua tahun bisa sakit hati?
Tentu saja bisa sodara-sodara! Memang tidak kelihatan tapi itu akan tersimpan
dalam alam bawah sadar karena anak usia 0-5 tahun gelombang otaknya berada
dalam kondisi alfa. Artinya semua yang Anda lakukan dan katakan direkam tanpa
proses penyaringan dan itu baru akan muncul saat pikiran sadarnya mendominasi
otak. Jadi jangan heran bila saat SD anak suka membantah dan pemarah pada
adiknya, Andalah yang mengajarkan pertama kali padanya.
Salah satu modal utama bagi
orang tua dalam mendidik anak adalah jangan marah. Rasulullah bersabda, “Janganlah
marah, maka bagimu surga.” Ternyata marah adalah induk semua kejelekan, saat
marah seseorang tidak bisa mengontrol dirinya dan melakukan tindakan yang
seringkali disesali saat kemarahan reda. Kemarahan orang tua bisa menghancurkan
harga diri anak, melukai hatinya, dan menimbulkan dendam. Padahal salah satu
amalan yang bisa mengantarkan pada surga adalah doa anak yang shalih, tapi
bagaimana bisa mendapatkan doa anak jika anak merasa kecewa pada orang tua?
Mungkin orang tua merasa tidak adil,
sebab orang tua sudah melahirkan, membesarkan, menyekolahkan, memberikan pakaian,
makanan, perlindungan masa hanya karena dimarahi tidak mau mendoakan orang tua,
tidak mau berbakti? Seperti kata pepatah cinta orang tua sepanjang jalan, cinta
anak sepanjang galah. Cinta orang tua selalu lebih besar dari anak, demikian
juga yang terjadi antara kita dan orang tua kita serta kita dan anak-anak kita.
Coba tanya pada diri sendiri saat dimarahi orang tua dulu bagaimana perasaan
kita?
Sebenarnya semua anak tidak
pernah punya keinginan membuat orang tua marah (betul,kan? Apakah kita sebagai
anak punya keinginan membuat orang tua marah?). Marah itu muncul saat anak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan orang tua. Bisa saja orang
tua yang benar dan anak yang salah, atau sebaliknya. Tapi meskipun salah tidak
sepantasnya orang tua memarahi secara berlebihan (tapi tidak usah mengingat-ingat
perlakuan orang tua dulu karena pendidikan yang belum semaju sekarang sehingga
berimbas pada ketidak tahuan mereka, sekarang saatnya kita merubah kebiasaan
itu). Ketika menjatuhkan piring contohnya seringkali orang tua langsung naik
pitam dan mencela anaknya macam-macam, padahal berapa sih harga piring? Apakah sebanding
dengan perasaan anak yang kita cintai terluka?
Tapi tentu tidak berarti orang
tua menjadi lemah dan memanjakan anak. Menuruti semua keinginan anak dan
membiarkannya melakukan kesalahan justru akan menghancurkan hidupnya. Pada hal-hal
yang prinsip bersikap tegas itu penting. Misalnya saat anak usia 10 tahun tidak
mau solat, tidak mau mengaji dan melalaikan kewajibannya pada agama. Tapi tentu
ada caranya, tegas bukan berarti kasar atau marah. Jelaskan padanya kenapa itu
dilarang, kenapa harus melakukan ini, kenapa bersikap demikian, bicarakan dengan
baik-baik. Anak juga merasa bahagia bila dihargai, dan tidak perlu merasa
terpaksa dalam mengikuti perintah orang tua.
Mendidik anak tidaklah mudah, apalagi bila
bakat anak tidak sesuai dengan harapan orang tua. Orang tua ingin anaknya meneruskan
bisnis keluarga tapi ternyata dia lebih suka menulis. Seorang ibu ingin anaknya
menjadi guru tapi si anak ternyata lebih betah berkutat di dapur, bila tidak
ada kesabaran tentu ini bisa menjadi sumber masalah. Bahkan anak dengan bakat
khusus yang luar biasa seringkali memilki perilaku yang luar biasa pula, kalau
orang tua tidak pandai menyikapi justru akan menghancurkan anak selain kepala
yang pusing menghadapi tingkahnya. Mungkin saja seorang anak yang punya
kemampuan khusus dalam teknik akan sering membongkar barang-barang di rumah,mainan
baru beli dibongkar, jam dibongkar, radio dipreteli, sepeda dilepas satu persatu,
bisa Anda bayangkan apa yang terjadi jika orang tua tidak mengerti bakat
anaknya?
Anak tidak bisa tumbuh menjadi
pribadi yang hebat dengan sendirinya, ada peran orang tua dan lingkungan yang
membentuknya. Maka jadilah orang tua yang mengerti, kurangi marah, dan luangkan
waktu sejenak untuk mendengarkan keluh-kesahnya, harapan-harapannya, dan
ketidaksukaannya. Setelah itu carikanlah lingkungan yang baik, yang menunjang
bakatnya, dekatkan denga orang-orang yang berkualitas, sebab seseorang sangat
dipengaruhi dengan siapa ia bergaul.
Salam hangat.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Mendidik Anak Itu... Penting!
Ditulis oleh Nasyithun Izzah
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://sayaummiraihan.blogspot.com/2013/01/mendidik-anak-itu-penting.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Nasyithun Izzah
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar